Kitab Fihii Ma Fihii
Suatu ketika Nabi Muhammad sedang duduk-duduk bersama sahabatnya ketika sejumlah orang kafir mulai turut campur. Nabi bersabda, “Engkau semua menyepakati bahwa di dunia ada seseorang yang menerima wahyu dan tidak semua orang dapat menerima wahyu. Orang yang menerima wahyu memiliki tanda-tanda tertentu pada perilaku, kata-kata, dan wajahnya. Tentu, pada setiap bagiannya terdapat tanda pewahyuan itu. Ketika engkau melihat tanda itu pada diri seseorang, berpalinglah padanya dan ketahuilah bahwa dia cukup berkuasa untuk menjadi pelindungmu.”
Orang-orang kafir itu merasa bingung mendengar kata-kata itu dan tidak tahu lagi apa yang mesti mereka katakan. Tidak lama kemudian mereka pergi mengambil pedang, lalu kembali mengganggu dan mencaci-maki para sahabat.
“Bersabarlah”, kata Nabi Muhammad, “kalau-kalau mereka berkata telah menang atas kita. Mereka inging memaksa agama ditampilkan pada masyarakat, tetapi Tuhan akan membuat agama ini mengejawantah apabila Dia berkehendak.” Dan untuk sejenak para sahabat melakukan shalat secara rahasia dan tersembunyi atas nama Rasul, hingga setelah beberapa saat sebuah wahyu datang berbunyi, “Wahai Muhammad, ambillah pedang dan berperanglah!”
Nabi Muhammad tidak disebut “buta huruf” karena ketidak mampuannya untuk menulis. Dia disebut demikian karena “huruf-hurufnya”, pengetahuan dan kebajikannya, merupakan pembawaan, bukan pencapaian. Apakah orang yang bisa membuat tulisan di bulan, dapat disebut tidak mampu menulis? Apakah ada di dunia ini seseorang yang tidak tahu, sedangkan seluruh pelajaran berasal darinya? Apa yang dimiliki oleh intelek bagian yang tidak dimiliki oleh Intelek Universal? Intelek bagian, tidak mampu untuk menemukan apa pun yang belum terlihat sebelumnya.
Susunan, ketrampilan, dan bangunan yang diletakkan oleh manusia bukanlah keahlian baru : kesenangan mereka pernah terlihat sebelumnya dan sekedar ditambahkan kepadanya. Hanya intelek Unibersallah yang bisa mengetahui sesuatu jejak awalnya. Intelek bawah hanya bisa melatih diri. Latihan itu selalu membutuhkan bimbingan, dan pembimbingnya adalah intelek Universal.
Sama halnya, ketika menyelidiki seluruh perdagangan, engkau akan menemukan bahwa semuanya berasal dan dipelajari dari Nabi Muhammad, yang merupakan intelek Universal. Ingatlah cerita gagak ketika Kabil membunuh Habil dan dia berdiri tidak mengetahui apa yang mesti dilakukan dengan tubuh saudaranya? Lalu dia melihat seekor gagak membunuh gagak yang lain, lalu gagak itu menggali bumi, menguburkan gagak mati dan menimbunkan kotoran di atas tubuh. Dari sini Kabil belajar cara membuat kuburan dan mengubur tubuh. Seluruh perdagangan semua seperti ini.
Siapa pun yang memiliki intelek bagian, dia akan membutuhkan bimbingan. Dan intelek Universal adalah pemberi bakat segala hal. Yang menyatukan setiap bagian dengan Intelek Universal dan menjadi satu. Sebagai contoh, tangan, kaki, mata dan telinga manusia dan semua anggota indera manusia lainnya, mampu diperintah pikiran. Kaki belajar cara berjalan, tangan cara menggenggam, mata dan telinga cara melihat dan mendengar, semuanya bersumber dari pikiran. Apabila tidak ada pikiran, akankah segala anggota inderawi ini mampu melakukan fungsinya?
Sekarang, berhubungan dengan pikiran, tubuh ini kasar dan buruk. Semenetara hati dan intelek itu lembut. Yang kasar mendapatkan makanan dari yang lembut, dari sana dia mendapatkan apa pun miliknya. Tanpa yang lembut, yang buruk tidak akan berguna, salah, kasar, dan tidak berharga. Sama halnya, berhubungan dengan Intelek Universal, intelek bagian adalah alat yang diperintah oleh dan mendapat manfaat dari intelek universal; dan mereka lebih buruk dibandingkan intelek universal.
Seseorang berkata, “Perhatikan kami dalam perhatianmu. Perhatian adalah hal yang utama. Apabila tidak ada kata-kata, tidak akan menjadi soal. Kata-kata hanyalah hal sekunder.”
Apakah orang ini berpikir bahwa di atas segala sesuatu, perhatian itu ada di dunia ruh sebelum dunia tubuh dan bahwa kita dibawa ke dunia tubuh bukan untuk tujuan perbaikan? Pertanyaannya absurd, karena kata-kata memang berguna dan bermanfaat. Apabila engkau hanya menanam biji aprikot buruk, dia tidak akan tumbuh; tetapi apabila engkau menanam bersamaan dengan tempurungnya, dia akan tumbuh. Maka, kami sadar bahwa bentuk luar penting juga.
Shalat, adalah perkara batiniah: “Tidak ada shalat tanpa akehadiran hati.” Meski demikian, engkau mesti melakukan shalat dengan bentuk luarnya, dengan rukuk dan sujud. Hanya cara demikian engkau akan mendapatkan manfaat sempurna dan mencapai tujuan.
Mereka yang khusuk di dalam shalatnya (QS. 70 : 23).
Ini merupakan shalatnya jiwa. Shalat pada bentuk luar hanya sementara, tidak abadi karena ruh dari dunia ini merupakan lautan tiada akhir. Tubuh adalah pantai dan tanah kering, yang terbatas dan tertentu. Maka, shalat abadi hanya dimiliki Ruh. Tentu saja ruh memiliki ciri rukuk dan sujud. Meski demikian rukuk dan sujud harus diejawantahkan ke dalam bentuk luar karena terdapat hubungan antara hakikat dan bentuk. Selama kedua hal itu tidak bersepakat, dia tidak akan memberi manfaat.
Sebagaimana engkau mengakui bentuk adalah nomor dua setelah hakikat, bentuk juga meruapakan pokok dan raja hati, itu semua adalah istilah kekerabatan. Engkau mengatakan Y adalah nomor dua setelah X. Selama tidak ada hal kedua, bagaimana mungkin X dinamakan yang utama? Karena adanya nomor dua, maka yang lain menjadi yang utama. Apabila di sana tidak ada nomor dua, yang lain tidak akan memiliki nama. Ketika engkau berkata “perempuan” engkau berarti “laki-laki”, ketika engkau berkata “tuan” engkau berarti “rakyat” ketika engkau mengatakan “penguasa”, engkau berarti yang diperintah.