Cinta Hanya Bisa Terlepas Oleh Cinta Lain


Sebelum Husamuddin Arzanjani mulai melayani kaum miskin dan menangani perkumpulan darwisy, dia merupakan seorang ahli debat yang hebat. Kemana pun dia pergi, dia akan berdebat dan selalu mempertimbangkannya dengan penuh perhitungan dan hati-hati. Di melakukan itu dengan baik, dia seorang pembicara yang baik. Tetapi ketika bergabung dengan para darwisy, kesenangan berdebatnya menjadi lemah. “Cinta hanya bisa terlepas oleh cinta lain.” “Siapa pun yang berharap duduk dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, biarkan dia duduk dengan para sufi.” Pengejaran intelek yang berkenaan dengan pernyataan para fakir ini, hanyalah permainan dan menyia-nyiakan kehidupan seseorang.

Sesungguhnya kehidupan ini hanyalah permainan dan hiuburan sia-sia
(Qs. 47 : 36).

Ketika manusia mencapai kedewasaan dan nalar yang sempurna, dia tidak akan bermain-main lagi. Apabila dia melakukannya, dia melakukan ini secara rahasia dan malu-malu agar tidak seorang pun melihatnya. Pengetahuan intelektual, pembicaraan sia-sia, dan tingkah laku duniawi semuanya adalah “angin”, sementara manusia adalah “debu”. Ketika angin dan debu bercampur, keduanya akan melukai mata ke mana pun pergi. Tidak ada yang muncul dari keduanya selain kekacauan dan keluhan. Sekarang, meskipun manusisa hanyalah debu, dia meratap pada setiap kata yang didengarnya, dan air matanya mengalir bagaikan air.

Engkau akan melihat mata mereka bercucuran dengan air mata
(QS. 5 : 83).

Ketika air, apalagi angin, mengalir di atas debu, peristiwa kebalikannya akan terjadi, karena tidak diragukan lagi ketika debu mengairi buah-buahan, tanaman hijau, tanaman obat, dan bebungaan, semuanya akan tumbuh.

Jalan kemiskinan adalah cara untukmu mencapai segala harapan. Apa pun yang barangkali engkau hasratkan tidak diragukan lagi akan tercapai di jalan ini, apakah itu penaklukan bala tentara dan kemenangan terhadap musuh, atau merebut harta benda, penaklukan ummat, keunggulan di atas orang lain, keelokan di dalam menulis dan berbicara, atau apa pun lagi. Ketika telah memilih jalan kemiskinan, engkau akan mencapai seluruh hal itu. Tidak seperti orang yang mengambil jalan lain, tidak seorang pun yang pernah mengambil jalan ini mengeluh. Dari seratus ribu yang mengambil jalan pertentangan dan perjuangan, barangkali hanya satu yang mencapai tujuannya. Bahkan itu tidak menyempurnakan kepuasan karena setiap jalan memiliki belokan dan penyimpangan untuk pencapaian tujuan.

Tujuan dapat dicapai hanya dengan cara melalui kelokan-kelokan dan simpangan-simpangan. Jalan ini memang panjang, penuh dengan penderitaan dan rintangan, dilemparkan oleh yang berbalik melawan pencapaian akhir. Tetapi ketika memasuki dunia kemiskinan dan mempraktikkannya, Tuhan membekalimu dengan kerajaan dan dunia yang belum pernah engkau bayangkan sebelumnya, Engkau akan merasa malu oleh yang pernah engkau bayangkan sebelumnya.

Engkau akan merasa malu oleh yang pernah engkau harapkan sebelumnya. “Ah, katamu, “bagaimana mungkin aku mencari perkara yang amat rendah, apabila yang amat menakjubkan telah ada?” Meski demikian, di sini Tuhan berfirman, “Meskipun sekarang engkau memisahkan diri, tidak disenangi, sombong terhadap hal ‘penting’ itu, tetapi sekali lagi hal itu akan melintas pada pikiranmu. Tetapi engkau membuangnya atas nama Kami. Kebaikan hati Kami tidak mengenal batas. Tentu, aku akan membuatnya tersedia lebih mudah untukmu.”

Sebelum memperoleh kemasyhuran, Nabi Muhammad telah melihat keelokan dan keindahan ucapan orang Arab dan berhasrat agar bisa berucap seelok dan selembut mereka. Ketika dunia yang tidak terlihat diwahyukan kepadanya, dia menjadi mabuk di dalam Tuhan dan kehilangan kesenangan terhadap hasrat itu. Tuhan berfirman kepadanya, “Aku memberikan kepadamu ucapan paling elok dan paling lembut dari yang pernah engkau hasratkan.”

“Ya Tuhan,” Nabi menjawab, “apa gunanya itu untukku? Aku bebas dari hasrat itu. Aku tidak menginginkannya.”

“Jangan berduka lara,” jawab Tuhan, “karena kedua keelokan dan ketidak pedulianmu pada hal itu akan bertahan, dan engkau tidak akan menderita kehilangan apa pun darinya.”

Dan Tuhan tentu saja memberi ucapan seperti itu sampai seluruh dunia, dari jamannya sendiri sampai saat kini, telah membuat begitu banyak jilid tafsir guna menjelaskannya. Masih saja mereka melakukan demikian, tetapi sampai sekarang mereka bahkan lebih jauh lagi terhadap pemahamannya.

Kemudian Tuhan berfirman, “Sahabat-sahabatmu, telah keluar dari kelemahan dan ketakutan kepada mereka dan ketakutan serta iri hati, mereka telah membisikan namamu. Aku akan meneribitkan keagunganmu ke seantero dunia dan keagunganmu akan disebutkan lima kali sehari dengan nada keras dan nada penuh rahmat dari menara tinggi ke seluruh negeri di dunia dari timur hingga barat.”

Siapa pun yang memberikan diri sepenuhnya pada jalan ini akan menemukan seluruh tujuannya, duniawi dan agama. Pencapaian tujuannya akan dibuat mudah. Pada jalan ini tidak seorang pun akan mengeluh.

Kata-kata Kami adalah koin sejati; kata-kat ayang lain adalah koin palsu. Koin palsu tidak penting dibandingkan dengan koin yang asli. Koin sejati bagaikan kaki manusia, sementara yang palsu bagaikan kayu berbentuk kaki manusia. Sekarang, kaki kayu telah “dicuri” dari kaki asli ukurannya diambil dari yang asli. Apabila tidak ada hal seperti kaki di dunia ini, bagaimana mungkin orang tahu yang palsu? Maka, sejumlah kata adalah koin asli dan sejumlah lain, palsu; tetapi, karena mereka mirip satu sama lain, orang mesti arif agar bisa membedakan yang benar, dan yang lain palsu. Kearifan adalah iman, dan kekurangan dari itu adalah kekafiran.

Tidakkah engkau lihat bahwa Fir’an, ketika tongkat Musa menjadi naga dan tongkat serta tali penyihir juga menjadi naga, mereka tidak memiliki kearifan akan melihat kesamaan pada keduanya, sedangkan mereka yang memiliki kearifan memahami perbedaan antara ilmu sihir dengan ilmu Tuhan, dan mereka menjadi orang yang beriman karena kearifannya.

Kita kemudian sadar bahwa iman adalah kearifan. Meskipun demikian, dasar dari ilmu fiqih adalah wahyu. Ketika kedua hal itu tercampur dengan gagasan, perasaan dan minat orang, maka rahmat itu menghilang. Lalu, kemiripan apakah yang dimiliki kelembutan wahyu? Ia seperti air yang mengalir dari mata air turut ke dalam kota ini. Lihatlah betapa bersih dan murni air itu. Begitu dia masuk kota dan melintasi taman, perempatan, dan rumah-rumah penduduk, demikian banyak orang yang membasuh tangan, kaki, wajah, dan anggota tubuh lain, ada juga yang mencucui pakaian, atau karpet dengan air itu. Lalu, air seni serta segala jenis najis dari semua penjuru, kotoran kuda dan unta tertuang ke dalam air itudan bercampur dengannya.

Lihatlah, seperti apa air itu ketika muncul pada sisi alin kota. Meski pun tetap air yang sama, air itu telah berubah menjadi kotor dan berlumpur; air itu masih bisa memuaskan dahaga orang kehausan, dan mengubah gurun menjadi hijau. Tapi membutuhakn kearifan orang untuk memahami bahwa kemurnian air itu suatu saat telah pergi dan kotoran telah bercampur baur di dalamnya.

“Orang beriman adalah orang yang arif, bijaksana, memahami, dan rasional.”

Seorang lelaki tua tidaklah rasional ketika menyibukkan diri dengan permainan. Sekali pun barangkali berumur seribu tahun, dia tetap tidak dewasa, dan kekanak-kanakkan. Dan anak kecil, ketika tidak merasa asyik dengan permainannya, adalah orang tua. Di sini umur tidak dipertimbangkan.

Air yang tidak dapat dikurangi
(QS. 47 : 15)

Ialah yang niscaya. “Air yang tidak dapat dikurangi” adalah air yang membersihkan segala ketidak sucian dunia tetapi dari dari sana tidak tertulari, melainkan tetap murni dan jernih sebagaimana adanya, tidak jadi terpecah di dalam perut tidak pula terpalsukan atau teracuni. Dan itu adalah Air Kehidupan.

Seorang lelaki berteriak dan merapat selama shalat. Apakah shalatnya layak batal atau tidak? Jawabannya bergantung pada untuk apa dia berteriak. Apabila dia berteriak karena dunia yang lain, melampaui dunia wujud, yang ditunjukkan kepadanya – disebut sebagai “Air dari mata” – dan bergantung pada apa yang dia lihat. Apabila dia melihat suatu hal yang adalah jenis shalat dan ia menyempurnakannya, maka hal itu menjadi obyek dari shalat.

Berarti shalatnya benar dan lebih lengkap. Apabila sebaliknya, matanya menangis karena dunia ini atau keluar dari kesengsaraan karena musuh memenangi atas dirinya, atau apabila dia merasa cemburu pada seseorang memiliki sesuatu yang tidak dimilikinya, maka shalatnya tidak lengkap dan tidak sah. Kita kemudian sadar bahwa iman adalah kearifan untuk membedakan antara yang nyata dan yang palsu, juga antara yang benar dan yang tiruan. Siapa pun yang tidak memiliki kearifan, dia akan terhalangi.

Siapa pun yang memiliki kearifan akan mendapatkan manfaat dari akta-kata yang kami katakan ini, sementara perkataan kami disia-siakan oleh siapa pun yang tidak memiliki kearifan. Itu seperti dua orang kota rasioanl dan memenuhi syarat. Keduanya pergi dengan dengan ibu untuk memberikan kesaksian atas nama orang desa. Orang desa, di dalam kebersajaannya, mengatakan sesuatu yang bertentangan terhadap kedua orang itu, sehingga kesaksian mereka tidak memiliki pengaruh dan jasa mereka sia-sia. Untuk alasan ini mereka mengatakan orang desa itu memiliki kesaksian atas dirinya sendiri.

Ketika keadaan memabukkan muncul pada seseorang, satu orang yang terlalu mabuk akan mempertimbangkan apakah ada orang arif di sini yang layak atas kata-katanya atau tidak. Dan demikianlah, orang mambuk itu menuangi mereka secara acak. Itu seperti perempuan yang payudaranya demikian penuh dan menyakitkan hingga dia mengumpulkan anak anjing dari perempatan kota dan menuangkan susunya pada mereka. Jika kata-kata ini jatuh pada orang yang tidak memiliki karifan, maka itu seperti memberikan mutiara yang tidak ternilai kepada anak kecil yang tidak dapat menghargainya. Karena dia tidak memiliki karifan, ketika si anak pergi sedikit jauh, sebutir apel dapat digantikan pada tangannya dan mutiara diambil dari sana. Maka, kearifan merupakan hal yang sangat agung dalam substansi seseorang.

Ketika Bayazid masih kecil, ayahnya menyekolahkan dia untuk belajar Fiqih. Ketika dibawa ke depan guru, dia bertanya, “Apakah ini fiqih Tuhan?”

“Ini fiqih Abu Hanifah,” mereka menjawab.

“Saya ingin fiqih Tuhan!” dia berkata.

Ketika dibawa di depan guru tata bahasa, dia bertanya, “apakah ini tata bahasa Tuhan?”

“Ini tata bahasa Sibawaih,” sang guru menjawab.

“Saya tidak menginginkannya.” Bayazid menjawab. Ke mana pun dibawa, dia mengatakan hal serupa. Karena tidak mampu melakukan apa-apa kepadanya, ayahnya meninggalkan dia sendirian. Tetap melakukan pencarian, akhirnya dia datang ke Baghdad. Begitu dia melihat Junaid, Bayazid berteriak, “Inilah fiqih Tuhan!” Dan bagaimana mungkin anak seekor anak domba yang tidak mengenali induknya, akan memperoleh makanan dari susunya? Bayazid terlahir dari kecerdasan dan kearifan. Maka biarkan bentuk luar itu pergi.

Suatu ketika terdapat syeh yang dalam suatu prosesi memerintahkan pengikutnya untuk berdiri dengan tangan terlipat. “Ya, syeh,” mereka berkata, “kenapa engkau tidak membiarkan kelompok itu duduk? Ini bukanlah praktik darwisy, tetapi kebiasaan raja dan pangeran.”

“Tidak,” jawab syeh, “diamlah! Aku ingin mereka menunjukkan hormat seperti ini hingga memperoleh manfaat dari sana.”

Meskipun hormat memang berada di dalam hati, bagian luarnya adalah judul halaman dari apa-apa yang ada di dalamnya. Sekarang apa arti “judul halaman”? Itu berarti bahwa satu huruf dapat diketahui dari sampulnya. Itu hanya dapat diketahui untuk siapa, dan dengan siapa buku itu dtulis.

Dari halaman judul sebuah buku, seseorang dapat menemukan bab dan bagian yang ada di dalamnya. Dengan memperlihatkan hormat dalam bentuk luar, seperti membungkuk kepala atau berdiri, orang dapat mengetahui hormat jenis apa yang dimiliki manusia untuk Tuhan. Apabila mereka tidak memperlihatkan hormat dalam bentuk luar, tidak peduli dan tidak memiliki hormat kepada orang-orang Tuhan.

Menu